‘Lari Maraton’ Umat Islam Indonesia

Para tokoh pendiri Republik Indonesia dalam mendirikan ‘negara modern’ mengadopsi dari nilai-nilai lingkungan ‘Barat’, sehingga pada domain ‘tertentu’ tidak terlalu membuka jalan pada nilai-nilai autentik dari sejarah leluhur. Kita bersyukur, Pancasila yang ‘keramat’ bagi rakyat Indonesia, nilai-nilainya merupakan hasil penggalian dari keluhuran Islam (yang satu bingkai dengan wacana agama lain) dan hasil pencapaian kakek nenek moyang bangsa Indonesia.

Tokoh-tokoh seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lain-lain serta kalangan yang disebut ‘nasionalis Islam’ seperti Haji Omar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Muhammad Natsir menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang luar biasa dalam membangun kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tujuan utama didirikannya NKRI ialah melindungi segenap bangsa dan seluruh rakyat Indonesia dari upaya-upaya kolonialisme, imperialisme atau perampokan kekayaan NKRI. Indonesia, sangat jelas merupakan tanah-air yang begitu kaya, kreativitas manusianya luar biasa. Sehingga, kesadaran dalam mengamankan kekayaan atau politik proteksi harus terus diaktivasi oleh rakyat Indonesia, terutama kepanjangan tangan negara yaitu pemerintah.

Orang-orang di pemerintahan haruslah orang-orang yang berani, yang ‘tengkuknya’ tidak bisa dicengkram oleh siapapun, yang cerdas dan berdaulat atas pikirannya sendiri. Tentunya mesin pikiran dan hatinya hanya diisi oleh rakyat, rakyat, dan rakyat, tidak ada lagi keluarganya, apalagi dirinya.

Orang-orang di pemerintahan yang punya hobi korupsi, kolusi atau persekongkolan, nepotisme atau menguntungkan sanak saudara sendiri merupakan ‘jalan tol’ untuk berlangsungnya perampokan. Orang-orang yang bermain di sistem tersebut membutuhkan orang-orang pemerintahan yang sontoloyo nian untuk memberikan kemudahan perampokan. Kasus suap Perda Reklamasi Jakarta oleh PT Agung Podomoro Land dan kasus suap limbah sawit oleh grup Sinar Mas merupakan contoh konkret mengenai perampokan gaya baru ini.

Perampokan gaya baru ini melibatkan korporasi, pemerintah, pihak legislatif untuk membuat peraturan yang menguntungkan kepentingan korporasi. Fokus mereka adalah mengeksploitasi apapun saja yang bisa dieksploitasi. Konsep puasa ditimbun. Kelestarian lingkungan, kemanusiaan, kebudayaan serta kearifan lokal tidak menjadi perhatian utama oleh orang-orang yang bermain di kubangan tersebut.

Momentum 212

Gerakan Umat Islam Indonesia berlabel 411, 212, dan baru-baru ini reuni akbar 212 merupakan salah satu bentuk ‘pertempuran’ dari Umat Islam Indonesia. Mobilisasi jutaan orang yang berkumpul di Monas tidak akan mungkin terjadi jika bukan Allah yang menjadi ‘arsiteknya’. Menurut saya seperti itu. Landasannya, karena tidak ada satupun peristiwa yang terjadi tanpa izin dan kehendak Allah.

Umat Islam Indonesia baiknya tidak memuncakkan perjuangannya hanya pada gerakan yang bersifat temporal dan situasional seperti sekarang ini. Mesti ada strategi untuk ‘lari jarak pendek’ dan ‘lari maraton’ yang menjadi fokus Umat Islam Indonesia. Ancaman perampokan yang saya kemukakan di atas dapat menjadi fokus gerakan. Karena efek dari persekongkolan tersebut yang menjadi korban utama adalah Umat Islam itu sendiri.

Kita harus punya stamina untuk ‘lari maraton’ sehingga yang dibutuhkan ialah saling rendah hati demi menyamakan fokus utama untuk mengatasi ancaman dan tantangan-tantangan yang pasti dihadapi. Hal ini karena kalau Umat Islam ‘tertidur’ atau teralih fokusnya, maka bersiap-siaplah anak-cucu kita yang menerima penderitaan-penderitaan, kehancuran-kehancuran karena ketidakwaspadaan kita.

Selain itu, Umat Islam Indonesia perlu hati-hati serta waspada terhadap upaya-upaya benturan massal, karena orang-orang yang bermain di perampokan membutuhkan ketidak rukunan Umat Islam. Mereka ingin kalau Umat Islam tidak akur, antar umat agama tidak saling mengamankan satu sama lain. Ribut tentang ini-itu dibutuhkan supaya energi rakyat Indonesia terbagi-bagi, supaya akses perampokan semakin lapang. Selanjutnya, kewaspadaan terhadap kata-kata yang berlalu-lalang di media massa dan media sosial perlu dibiasakan mulai dari sekarang. Serta kehati-hatian saat berpikir (terutama ketika berpikir ingin bentrokan) harus dihidupkan mulai dari sekarang.

Kemudian, Umat Islam Indonesia juga harus lebih ‘mengislamkan’ dirinya kembali. Ruang-ruang pendidikan harus terus-menerus diperbanyak, supaya tidak terjadi masa ‘kegelapan’ berpikir. Beberapa dari kita beragama Islam tetapi belum ‘mengislamkan’ dirinya. Ketidakyakinan atas kekuasaan Allah, kesadaran lingkaran Innalillahi wainna ilaihi roji’un belum menjadi pendorong tingkah laku, ambil untung di bidang pendidikan, dan sebagainya merupakan contoh kita masih anget-anget tai ayam. Proses untuk mengukuhkan kesadaran ber-Islam mutlak diperlukan sebagai modal utama menempuh perjuangan lari maraton.

Masa kecerahan berpikir merupakan tanggung jawab Umat Islam Indonesia. Jika kita membutuhkan pemimpin sekaliber Bung Karno, Bung Hatta atau potensinya sampai lima kali lipat dari mereka, maka Umat Islam Indonesia harus mulai berpikir untuk membimbing generasi baru (anak-anak muda). Jangan sampai anak-anak muda kehilangan tokoh, kehilangan orangtua, kehilangan contoh orang-orang yang serius menjalankan amanah, jujur, dan bebas dari sogokan dunia.

Kesadaran kolektif, kecerdasan kolektif dibutuhkan Umat Islam Indonesia untuk meniadakan masa kegelapan berpikir. Korupsi, persekongkolan, masifnya menguntungkan sanak saudara sendiri adalah gejala masa kegelapan berpikir. Jangan sampai kita ber-Islam tetapi hanya menjadi bungkus atau bahkan topeng untuk ambisi kekuasaan dan penguasaan Indonesia.

Soal reuni akbar 212 yang dinilai mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden itu silakan menjadi diskursus sendiri. Ibarat pertandingan sepakbola tarkam saya hanya penonton yang bersantai di atas pohon sambil minum es jeruk. Saya duduk dan menikmati pertandingan sampai selesai.

Saya tidak ada urusan siapa yang menang, siapa yang kalah, siapa yang bertanding dan siapa tim ofisialnya. Saya hanya peduli pertandingan sepakbola berlangsung jujur atau tidak, pemainnya kesatria atau tidak, pertandingannya membahagiakan atau tidak, kalau sudah dikotori yang saya junjung yakni sepakbolanya, yang saya pedulikan adalah nasib tanah-air kita yang bernama Indonesia.


Tinggalkan komentar