Jiwa Besar Orang Kecil

Bila ingin belajar keikhlasan, belajarlah ke orang-orang kecil. Bila ingin belajar ketulusan, belajarlah ke orang-orang kecil. Bila ingin belajar ketangguhan, kesetiaan, mental yang dinamis, kebijaksanaan, kejujuran, persaudaraan, kemurnian, kesejatian, menjadi manusia yang ‘berpuasa’, belajarlah ke orang-orang kecil.

Cara berpikir seperti itu saya pelajari dari seseorang, yang saya menyebutnya: guru. Guru saya tersebut merupakan seorang yang zuhudiah. Ia memilih meninggalkan karirnya yang ‘tokcer’ di ibukota lalu berjualan minuman di Jogja. Entah apa yang ia alami. Dimensi batin apa yang ia gali. Pilihan hidupnya sangat radikal dan kontradiktif dengan pilihan mainstream zaman ‘modern’. Di saat kita menyembah materi, mengabdi kepada status sosial, posisi feodal, menomorsatukan hedonisme, ia memilih melawan itu semua.

Meskipun ia tampak sedang berjualan, tubuhnya bergerak ke sana-ke mari, gesture tubuhnya aktif nian melayani pembeli, serta responsif menyapa para langganannya, hatinya sedang sibuk bertapa, pikirannya mempelajari kesejatian. Parameter dimensi ruhani, spiritual seseorang bekerja ialah ketika yang keluar dari dirinya berupa kebaikan atau tidak, keadilan atau tidak, kejujuran atau tidak, keseimbangan sosial atau tidak, kebermanfaatan sosial atau tidak. Dimensi-dimensi yang tak kasat mata tersebut sangat bekerja di dalam dirinya.

Saat pertama kali dipertemukan, sekitar 10 menit kami berbincang, saya melobi untuk mengadakan diskusi rutin dengannya minimal seminggu sekali. Ia menerima dan mengajukan dua syarat. Pertama, ia melarang saya untuk mencari tahu siapa dirinya, namanya, keluarganya, alamat rumahnya, dan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Kedua, diskusi hanya dilakukan maksimal lima kali. Saya menyetujui, saling mufakat tercapai.

Saya tidak pernah menanyakan kenapa ia mengajukan syarat yang super aneh itu. Saya coba pahami ‘kerahasiaan’ dirinya. Yang paling penting, pemaknaan dan pelajaran yang saya tangkap darinya ialah jiwa besar orang kecil.

Orang-orang kecil adalah orang yang berjiwa besar. Mereka sanggup menjadi tukang parkir, pembantu rumah tangga, berjualan koran, berjualan minuman, berjualan kerupuk, pempek, bakso, soto, sate, jamu, sayur-sayuran, buah-buahan berkeliling komplek perumahan, antar desa, antar kabupaten, antar kota dengan alat pendukungnya masing-masing, demi memenuhi kebutuhan primer hidup dirinya dan keluarganya. Kita kemungkinan besar juga sanggup berjualan seperti itu, tetapi apakah kita rela?

Mereka sangat berhati tabah, bermental baja, ikhlas dan sabar luar biasa. Kalau mereka memiliki watak pengemis ‘berijazah’ dan maling, mana mungkin mereka tahan berkeliling berjam-jam hanya untuk beberapa ribu rupiah. Mereka semua pantas dicap berjiwa besar!

Mereka sanggup untuk tidak terlalu memikirkan masa depan dan harapan-harapan. Mereka ikhlas untuk menjalani kehidupan yang belum tentu kita ikhlas melewatinya. Hari-hari mereka dipenuhi dengan perasaan terlalu sabar. Bagai puyuh di air jenih, meskipun yang orang lain lihat hanya kubangan air pasca hujan. Mereka selalu gembira meski orang lain memandangnya penderitaan. Apakah mereka mengira kehidupan yang dijalani adalah penderitaan? Tidak! Sama sekali tidak!

Tidak ada konsepsi penderitaan di dalam pikiran mereka. Kalau mereka berpikir semua yang berlangsung adalah penderitaan, mana mungkin mereka tahan? Akan terjadi chaos berskala nasional bila orang-orang kecil tidak menyetel mental baja untuk mengatasi dinamika kehidupan.

Orang-orang kecil telah berhasil berdaulat atas pikiran mereka sendiri. Mereka tidak terpengaruh dengan konsepsi yang ‘dunia’ habis-habisan iklan-kan, promosikan. Ada juga sesekali mereka sedikit pening dengan impitan ekonomi, tetapi mereka selalu berhasil menguasai hati dan pikirannya agar tidak terlalu pusing dengan keadaan.

Seorang pedagang kerupuk sanggup dan ikhlas berjalan berpuluh kilometer setiap hari, sambil berharap barang dagangannya laris manis. Ia rela numpang tidur di sebuah balai desa selama lima hari dalam seminggu. Hal ini karena, jarak lokasi ia berjualan sudah berbeda provinsi. Selama lima hari ia berkeliling dan berusaha supaya kerupuk miliknya habis terjual. Kemudian, hari Sabtu-Minggu ia pulang ke rumah untuk memberikan uang hasil berjualannya kepada sang istri.

Bertahun-tahun ia tekuni dan semangat menjalani kehidupan seperti itu. Tidak ada raut muka mengeluh apalagi kecewa ketika disuguhi beberapa kali penolakan membeli kerupuknya. Ia menerima dengan ikhlas, sehingga tubuhnya tetap bugar untuk terus berjualan. Pikirannya beres, hatinya bersih, kedua hal itu syarat si pedagang kerupuk tetap sehat dan punya stamina tubuh luar biasa berkeliling berkilo-kilo meter.

Banyak sekali cerita yang tidak bisa tuliskan perihal kekaguman saya. Menjadi pedagang kerupuk, pempek, bakso, berjualan jamu, menjadi tukang parkir, satpam adalah kemuliaan. Kemuliaan mereka terletak pada karena mereka tidak melakukan korupsi dan merugikan rakyat banyak dan negara. Bahkan mereka yang seringkali dirugikan orang-orang ‘suruhan’ yang telah mereka gaji melalui pajak. Tetap saja, mereka bersabar dan selalu memaafkan.

Mereka juga tidak terlibat pada tatanan kerakusan penggumpalan ekonomi, pengisapan harta benda negara. Mereka juga tidak terjebak pada kebodohan untuk minta dihormati, didewakan, dikultus-kultuskan. Hidup mereka selamat dari kerendahan diri seperti penghormatan berlebihan bawahan kepada pejabat sang koruptor. Jiwa besar mereka menyelamatkan ‘wajah’ mereka di hadapan Tuhan. Mereka bebas dari banyak melakukan dosa dan laku pengkhianatan yang berlangsung kuat di sekitar mereka.

Orang-orang kecil mengajarkan kepada kita bahwa banyak kekeliruan cara pandang, kosepsi kita mengenai dunia. Bahwa selama ini yang kita sembah adalah harta benda, yang kita banggakan, kampanyekan, propagandakan adalah status sosial, kita terjebak menang-kalah antar sesama manusia. Merasa unggul dan terus ingin unggul di komunitas manusia, sehingga melahirkan adu kekuatan, adu kepintaran, adu kebenaran. Tradisi budaya kita sehari-hari meninggalkan kemuliaan, kebaikan, kebijaksanaan, dan kejujuran. Ternyata banyak hal yang tidak kita mengerti.


Tinggalkan komentar